ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM
NEFROTIK
DISUSUN OLEH
YOVIANUS LUSI BOLI
PO.530320312 711
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK
KESEHATAN
KEMENKES KUPANG
PROGRAM
STUDI KEPERAWATAN WAINGAPU
2013
A.
KONSEP DASAR
1.
Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari
kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996:
953).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).
2.
Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui,
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu
reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
a.
Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan
sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada
masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b.
Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan
oleh:
1)
Malaria kuartana atau parasit
lain.
2)
Penyakit kolagen seperti lupus
eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3)
Glumeronefritis akut atau
glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
4)
Bahan kimia seperti
trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air
raksa.
5)
Amiloidosis, penyakit sel
sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
c.
Sindrom nefrotik idiopatik (
tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop
biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu:
kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan
glomerulosklerosis fokal segmental.
3.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom
nefrotik adalah:
a. Oedem umum ( anasarka ), terutama
jelas pada muka dan jaringan periorbital.
b.
Proteinuria dan albuminemia.
c.
Hipoproteinemi dan albuminemia.
d.
Hiperlipidemi khususnya
hipercholedterolemi.
e.
Lipid uria.
f.
Mual, anoreksia, diare.
g.
Anemia, pasien mengalami edema
paru.
4.
Klasifikasi
Whaley
dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a.
Sindrom Nefrotik Lesi Minimal (
MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia
sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat
hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
b.
Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system
endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
c.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif
autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan
gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan
bayi jika tidak dilakukan dialysis.
5.
Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan
ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative
gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein
terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi
protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan
akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang
terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya
edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme
edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena
penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan
menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia.
Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan
pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume
darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya
tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang
akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan
rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang
pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus
kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena
onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat
edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic
hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar
kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan
terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas,
2002: 383).
6.
Pathways
idiopatik
Reaksi auto
imun
Penyakit
sekunder
Tekanan
hidrostatik
Tekanan
Osmotic plasma
Transudasi air
dan elektrolit ke ruang intertisiil
edema
Sel terjepit
Gangguan
metabolisme sel
Stimulasi
jaringan tubuler
kelelahan
Intoleransi
aktivitas
Aktivasi
mekanisme renin angiotensin
Stimulasi
duktus kolektifus
Aktivasi
mekanisme renin angiotensin
Stimulasi
jaringan tubuler
Stimulasi
duktus kolektifus
Kontriksi
pembuluh darah
Reabsorbsi Na
Reabsorbsi air
oliguri
hipertesi
Edema anasarka
immobilitas
Penekanan lama
pada tubuh
Gg. Integritas kulit
bedrest
Sulit bergerak
Perubahan
penampilan
Intoleransi aktivitas
Gg. Body image
Retensi cairan
diseluruh tubuh
Kelebihan volume cairan
Paru-paru
Ekspansi dada
dan paru
Ventilasi
tidak adekuat
Sesak nafas
Perubahan pola nafas
Abdomen
Menekan gaster
Mual, muntah
anoreksia
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Edema
disaluran pencernaan
usus
Absorbsi tidak
adekuat
Gg. Pola eliminasi diare
7.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Laboratorium
1)
Urine
Volume
biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment
kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
2)
Darah
Hemoglobin
menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat,
tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
b.
Biosi ginjal dilakukan untuk
memperkuat diagnosa.
8.
Penatalaksanaan
a.
Diperlukan tirah baring selama
masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang
interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis
jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
b.
Diit. Pada beberapa unit
masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium
dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema
menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang
seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten
dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus
mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
c.
Perawatan kulit. Edema masif
merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian
kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum.
Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan
bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan
kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan
kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
d.
Perawatan mata. Tidak jarang
mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang
melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e.
Kemoterapi:
1)
Prednisolon digunakan secra
luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis
dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua
kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan
setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping
dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum,
diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
2)
Jika terjadi resisten steroid
dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya
obat-obatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan
obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini
termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
a.
Penatalaksanaan krisis
hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan
pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan
tekanan darah.
b.
Pencegahan infeksi. Anak yang
mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus
kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan
steroid dan siklofosfamid.
c.
Perawatan spesifik meliputi:
mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan
darah dan pencegahan dekubitus.
d.
Dukungan bagi orang tua dan
anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak.
Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini
menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi
dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang
tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan
depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang
memaksa perawatan di rumahn sakit.
B.
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a.
Lakukan pengkajian fisik,
termasuk pengkajian luasnya edema.
b.
Kaji riwayat kesehatan,
khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan
fungsi ginjal.
c.
Observasi adanya manifestasi
dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah (
khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di
siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ),
pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin
berbusa ).
d.
Pengkajian diagnostik meliputi
meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk
serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum
sodium.
2.
Prioritas Diagnosa
Keperawatan
a.
Kelebihan volume cairan b. d.
penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
b.
Perubahan pola nafas b.d. penurunan
ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
c.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
d.
Resti infeksi b.d. menurunnya
imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
e.
Intoleransi aktivitas b.d.
kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
f.
Gangguan integritas kulit b.d.
immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
g.
Gangguan body image b.d.
perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
h.
Gangguan pola eliminasi:diare
b.d. mal absorbsi.
3.
Perencanaan Keperawatan
a.
Kelebihan volume cairan
b. d. penurunan tekanan osmotic plasma (Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan :
tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan
output.
Kriteria Hasil :
menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.
Intervensi:
1)
Pantau, ukur dan catat intake
dan output cairan
2)
Observasi perubahan edema
3)
Batasi intake garam
4)
Ukur lingkar perut
5)
timbang berat badan setiap hari
b.
Perubahan pola nafas
b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan : Pola nafas adekuat
Kriteria
Hasil : Frekuensi dan kedalaman
nafas dalam batas normal
Intervensi:
1)
auskultasi bidang paru
2)
pantau adanya gangguan bunyi
nafas
3)
berikan posisi semi fowler
4)
observasi tanda-tanda vital
5)
kolaborasi pemberian obat
diuretic
c.
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil : tidak
terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat
badan
Intervensi:
1)
tanyakan makanan kesukaan
pasien
2)
anjurkan keluarga untuk
mrndampingi anak pada saat makan
3)
pantau adanya mual dan muntah
4)
bantu pasien untuk makan
5)
berikan makanan sedikit tapi
sering
6)
berikan informasi pada keluarga
tentang diet klien
d.
Resti infeksi b.d.
menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil : tidak
terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit
dalam batas normal.
Intervensi:
1)
cuci tangan sebelum dan sesudah
tindakan
2)
pantau adanya tanda-tanda
infeksi
3)
lakukan perawatan pada daerah
yang dilakukan prosedur invasif
4)
anjurkan keluarga untuk mrnjaga
kebersihan pasien
5)
kolaborasi pemberian antibiotic
e.
Intoleransi aktivitas
b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
Tujuan :
pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
Kriteria Hasil :
menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan
peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
1)
pantau tingkat kemampuan pasien
dalan beraktivitas
2)
rencanakan dan sediakan
aktivitas secara bertahap
3)
anjurkan keluarga untuk
membantu aktivitas pasien
4)
berikan informasi pentingnya
aktivitas bagi pasien
f.
Gangguan integritas
kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
Tujuan : tidak terjadi kerusakan
integritas kulit
Kriteria
Hasil : integritas kulit
terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
1)
inspeksi seluruh permukaan
kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
2)
berikan bedak/ talk untuk
melindungi kulit
3)
ubah posisi tidur setiap 4 jam
4)
gunakan alas yang lunak untuk
mengurangi penekanan pada kulit.
g.
Gangguan body image b.d.
perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
Tujuan : tidak terjadi gangguan boby
image
Kriteria Hasil :
menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga
diri negatif
Intervensi:
1)
gali perasaan dan perhatian
anak terhadap penampilannya
2)
dukung sosialisasi dengan
orang-orang yang tidak terkena infeksi
3)
berikan umpan balik posotif
terhadap perasaan anak
h.
Gangguan pola
eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan : tidak terjadi diare
Kriteria
Hasil : pola fungsi usus normal,
mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
1)
observasi frekuensi,
karakteristik dan warna feses
2)
identifikasi makanan yang
menyebabkan diare pada pasien
3)
berikan makanan yang mudah
diserap dan tinggi serap.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan
Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa
Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care
Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien),
alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar